Kasus tertangkapnya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Syarifuddin menunjukkan bahwa praktik mafia peradilan masih ada di negeri ini. Bagai gunung es, kasus tersebut hanya satu dari sekian banyak praktek mafia peradilan yang mencuat ke permukaan.
Anda yang pernah berhubungan dengan pengadilan mungkin sedikit banyak mengetahui adanya praktik mafia peradilan semacam itu. Namun, bagaimana sesungguhnya pola mafia peradilan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berlangsung?
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, praktek mafia peradilan terjadi pada tiga tahap, yaitu tahap pendaftaran perkara, persidangan, dan vonis. Hal ini dirangkum dari hasil penelitian ICW dan penelitian mutakhir dari beberapa lembaga antikorupsi.
"Ini berdasarkan riset ICW tahun 2002, yang kemudian diadakan riset ulang oleh satgas pemberantasan mafia hukum, Pukat (Pusat Kajian Antikorupsi, UGM) tahun 2010," kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum ICW Febri Diansyah dalam jumpa pers di Kantor ICW, Jl Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (5/6/2011).
Menurut Febri, pada tahap mendaftarkan perkara, pegawai di pengadilan negeri meminta uang jasa kepada pihak yang berperkara. Agar mendapatkan nomor perkara awal, seorang yang berperkara di pengadilan harus menyerahkan uang kepada panitera sebagai pelicin.
Tahap kedua adalah persidangan. Menurut Febri, sebelum persidangan sebuah kasus dimulai, para hakim berembuk untuk menentukan majelis hakim. Biasanya, perkara yang 'basah' akan ditangani oleh ketua pengadilan sebagai ketua majelis hakim. Selain itu, panitera diminta menghubungi hakim tertentu yang bisa diajak bekerja sama.
"Pengacara juga sowan langsung ke ketua pengadilan untuk menentukan majelis hakim," kata Febri.
Tahap ketiga adalah putusan. Febri menjelaskan, sebelum penjatuhan vonis, biasanya terjadi negosiasi tentang vonis yang akan dijatuhkan kepada seorang terdakwa. Modusnya yaitu vonis diatur melalui jaksa atau langsung ke hakim. Hakim meminta uang kepada terdakwa dengan imbalan akan meringankan vonis.
Lalu, hakim juga seringkali menunda putusan sebagai isyarat agar terdakwa menghubungi hakim. Hakim meminta "uang capek" kepada terdakwa jika kedudukan terdakwa kuat. Terdakwa tidak perlu hadir pada saat pembacaan putusan karena semua sudah diurus pengacara.
"Terakhir, hakim melanggar batasan hukuman minimal yang diatur undang-undang," lanjutnya.
Adapun mengenai pratik mafia peradilan di tingkat banding, Febri mengatakan, biasanya terjadi saat negosiasi putusan. "(Pihak berperkara) langsung menghubungi hakim untuk mempengaruhi putusan," urai Febri.
Semoga bermanfaat ...
sumber: detiknews
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda