TIGA abad lalu ada kisah bumi Jakarta nyaris rata akibat gempa. Hari itu, 4-5 Januari 1699, guncangan di Jawa Barat merambat ke Batavia. Peradaban kota baru bentukan kolonial Belanda itu nyaris hancur.
Saat itu, Gunung Salak meletus. Dari puncaknya setinggi dua ribu meter, gunung itu menyemburkan abu dan batu. Ribuan kubik lumpur muncrat. Puluhan ribu pohon tumbang, menyumbat aliran Sungai Ciliwung, membekap kali dan tanggul di Batavia, kota yang dibangun meniru Venesia.
Banjir lumpur tak terelakkan. Kota mendadak menjadi rawa.
Bencana itu dicatat Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. "Gempa 1699 memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan tak sehat, kian parah.”
Batavia didera bencana rangkap dua. Gubernur Jendral Hindia Belanda Willem van Outhoorn (1691 – 1704) yang berkuasa saat itu sangat nepotis. Para kerabatnya menduduki jabatan strategis di Hindia Belanda. Dia bahkan digantikan menantunya sendiri, Johan van Hoorn.
Hampir seabad kemudian, gempa hebat kembali melanda Jakarta pada 1780. Lalu seabad kemudian, pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus, dan memicu tsunami 35 meter. Sekitar 36 ribu jiwa melayang, di Jawa bagian barat, dan sebelah selatan Sumatera.
Jumlah korban fantastis untuk ukuran masa itu.
Ombak tsunami Krakatau mampu mendorong karang seberat 600 ton ke pantai. Inilah salah satu bencana alam terdahsyat, selain letusan Gunung Tambora, yang membolongi atmosfer, mengubah iklim dunia, dan konon membuat Napoleon Bonaparte kalah perang.
Kisah Krakatau mengamuk itu pernah dicatat saksi mata Muhammad Saleh, yang menulis ‘Syair Lampung Karam’, dan terbit pada Agustus 1883. Ini barangkali dokumentasi tragedi Krakatau satu-satunya yang ditulis oleh seorang pribumi.
Saleh menulis: “Serta pula dengan gelabnya, tidak berhenti goncang gempanya. Bukan Bumi yang menggoncangnya, gempa air laut nyata rupanya.”
“Dengan takdir Tuhan yang Ghani, besar gelombang tidak terperi. Lalulah masuk ke dalam negeri, berlarian orang ke sana ke mari.”
“Ada yang memanjat kayu tinggi, masing-masing membawanya diri. Ada yang gaduh mencari bini, ada yang berkata ‘Allahurabi’”.
Naskah itu ditemukan kembali oleh sejarawan Universitas Andalas, Suryadi, yang kini menimba ilmu di Universitas Leiden, Belanda. Dia lalu menyunting teks syair yang mirip laporan ‘jurnalistik’ itu, dan diterbitkan kembali dalam buku ‘Dahsyatnya Letusan Krakatau 1883’.
Periode yang mengulang
Empat gempa dahsyat itu bukan sekedar catatan sejarah. Bagi para pakar, dia menjadi petunjuk bencana yang sama bisa berulang di ibu kota.
Pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr Danny Hilman Natawijaya, misalnya, mengatakan dari fakta sejarah gempa selalu berulang dalam periode waktu tertentu. “Ini adalah peringatan bagi Jakarta, kota besar dengan 9 juta penduduk. Jakarta harus selalu siap menghadapi skrenario terburuk bencana gempa.”
Peringatan dari Danny ada dasarnya. Dari data peta gempa 2010, Jakarta termasuk rawan. Tingkat kerentanan Jakarta terhadap gempa bumi naik probabilitasnya. Pada 2002, dia tercatat pada angka 0,15 g (gravitasi). Kini, pada 2010 naik menjadi 0,2 g.
Encyclopedia of World Geography mencatat Jakarta, seperti halnya mayoritas kota besar di Indonesia, dibangun di atas tanah relatif tak stabil. Meski jauh dari pusat gempa, kota seperti itu rentan goncangan.
Tanah yang tak stabil itu membuat rambatan gempa jadi lebih hebat. Seperti dikatakan Ketua Tim Revisi Peta Gempa Indonesia atau Tim 9, Profesor Masyhur Irsyam, kawasan Jakarta Utara memiliki kondisi batuan dasar yang memungkinkan terjadinya percepatan rambatan.
Ambil contoh kasus gempa 1699 itu. Pusat gempanya tidak di Batavia, nama lama Jakarta. “Tapi di wilayah lain. Karena kondisi batuan dasar memungkinkan percepatan rambatan, maka guncangannya lebih kuat daripada kekuatan gempa di sumbernya," kata Prof Masyhur.
Intensitas gempa yang kian meningkat di zona patahan aktif sepanjang pantai barat Sumatera akhir-akhir ini membuat para pakar turut cemas. Soalnya potensi gempa bisa menuju ibu kota sewaktu-waktu.
"Ini juga bisa jadi semacam emergency call. Bisa dilihat mana yang relatif aman dari goncangan, sehingga bisa jadi jalur evakuasi," ucap Masyhur, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Suka tak suka, Jakarta memang di bawah bayang-bayang jalur gempa itu. Sebelumnya beredar kabar adanya sesar, atau patahan gempa di Jakarta. Melintang dari wilayah Ciputat sampai Kota, patahan itu disebut juga Sesar Ciputat.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, salah satu bukti adanya Sesar itu adalah sumber mata air panas di sekitar Gedung Arsip Nasional. Namun, Sesar itu adalah patahan tua.
Pada 2006 lalu sesar itu masih berstatus tidak aktif. Tapi, dia bisa "terbangun" kembali. Misalnya, jika Sesar tua itu "digelitik" oleh gempa berkekuatan di atas 7 skala Richter. Untungnya, tak ada gempa sebesar itu di Jakarta, setidaknya dalam 200 tahun terakhir.
Negeri langganan gempa
Ini takdir: Indonesia berada di atas zona tektonik sangat aktif karena tiga lempeng besar dunia –Pasifik, Australia, dan Eurasia, dan sejumlah lempeng kecil lainnya bertemu di wilayah nusantara.
Berada di lingkaran ‘cincin api’ atau ring of fire membuat negeri ini langganan bencana, seperti gempa dan letusan gunung berapi. “Indonesia adalah supermarket gempa”, ujar Staf Khusus Presiden Bidang Bencana, Andi Arief.
Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), dari 15 gempa paling dahsyat di dunia sejak tahun 1900, empat di antaranya berada di Indonesia.
Sebut saja gempa Aceh 2004 yang berkekuatan 9,1 skala Richter. Menurut versi USGS, gempa Aceh menduduki nomor tiga setelah gempa Chile pada 22 Mei 1960 (9,5 SR) dan gempa di Alaska (9,2 SR), 28 Maret 1964.
Tiga gempa lainnya adalah guncangan berkekuatan 8,6 SR di Sumatera Utara pada 28 Maret 2005, Gempa 8,5 SR di Sumatera Selatan 12 September 2005, dan gempa di Laut Banda 1 Februari 1938.
Tentu, kita masih terkenang gempa dan tsunami di Aceh pada Minggu 26 Desember 2004, yang menjadi salah satu bencana paling mematikan sepanjang sejarah. Sekitar 230.000 orang tewas di 8 negara. Bencana ini bahkan menewaskan warga di Afrika Selatan, yang letaknya hampir 5.000 mil dari episentrum.
Kekuatan gempa di Aceh dua kali lipat lebih dibandingkan gabungan seluruh bahan peledak yang digunakan dalam Perang Dunia II, termasuk bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.
Korban umumnya jatuh akibat tak adanya sistem peringatan tsunami di Samudra Hindia. Maka, tsunami Aceh harus menjadi pelajaran. Termasuk pentingnya memperhitungkan probabilitas gempa.
Menurut Tim 9, identifikasi sumber gempa melalui data seismisitas baik historis maupun instrumental, pemetaan sesar aktif, dan pemantauan deformasi kerak adalah aspek penting untuk diperhitungkan.
Ancaman gempa naik dua kali
Dalam kerangka itulah, sejumlah ahli gempa mencoba melakukan revisi peta gempa Indonesia pada 2010. Peta bahaya gempa terakhir dibuat pada 2002. Laporan terbaru itulah itulah diberi tajuk Peta Bahaya Gempa Indonesia 2010 (Probabilitic Seismic Hazard Analysis Map).
Danny Hilman menjelaskan, peta ini berisi potensi bahaya gempa yang tersimpan di tiap daerah. Peta 2010 diklaim lebih baik dari 2002. “Datanya lebih lengkap karena dari berbagai instansi. Sebelumnya data-data hanya berasal dari perorangan. Metode yang digunakan juga lebih bagus.”
Soal potensi gempa, menurut Danny, hampir semua kota di wilayah patahan aktif terancam. “Misalnya Padang, Banda Aceh, Surabaya, Malang, Semarang. Jumlahnya ratusan kota. Hanya pulau Kalimantan saja yang relatif aman dari gempa.”
Peta gempa ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan ketahanan bangunan. Penerapannya dilakukan Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dalam hal kualitas bangunan.
“Kekuatan bangunan harus disesuaikan dengan besaran yang ada saat ini. Kalau dulunya ketahanan bangunan berdasarkan 0,15, sekarang kekuatannya harus 0,2. Semuanya sudah diperhitungkan, dan tiap individual bangunan sangat bervariasi.”
Bencana gempa dapat terjadi karena kegagalan menerapkan parameter bahaya (hazard) sesuai tingkat bahaya gempa bumi pada desain, konstruksi gedung, serta infrastruktur di wilayah tertentu.
Yang membuat agak cemas adalah hasil penelitian tim itu. Dikatakan, potensi gempa pada peta 2010 makin besar. “Sekitar dua kali lipatnya dibandingkan peta tahun 2002," kata Ketua Tim, Masyhur Irsyam.
Kenaikan 100 persen itu, kata Masyhur, terutama terjadi di dekat sumber gempa. "Di sekitar patahan, dan di sekitar sesar," ujarnya. Tim kemudian membandingkan tingkat guncangan di sejumlah kota pada peta 2002, dengan hasil riset 2010.
Di Aceh, tingkat guncangan meningkat dari 0,2 g (gravitasi) di 2002 menjadi 0,33 g pada 2010. Di Padang, dari 0,25 g menjadi 0,32 g. Di Pulau Jawa, tingkat goyangan meningkat dari 0,15 g menjadi 0,2 g.
"Namun ada juga yang tingkat goyangan menurun. Misalnya di Lampung, dari 0,25 g pada 2002 menjadi 0,2 g pada 2010," lanjut ahli gempa asal Insitut Teknologi Bandung ini.
Masyhur menjelaskan, pemantauan potensi gempa di Indonesia belum sepenuhnya tuntas. "Masih banyak sesar aktif atau pun patahan tua aktif yang belum dapat diidentifikasi di sekitar pulau Jawa dan Indonesia Timur.
Berhenti jadi ‘pemadam kebakaran’
Data terbaru itu layak membuat kita waspada. Tapi pakar manajemen krisis dari Sekolah Ilmu Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard, Arnold Howitt justru kaget saat melihat anggaran penanggulangan bencana yang dimiliki Indonesia.
“66 persen anggaran hanya untuk rekonstruksi. Seharusnya dana itu juga dialokasikan sebelum bencana terjadi,” kata Howitt dalam diskusi bertajuk ‘Kepemimpinan dalam Pengelolaan Bencana. Mencari Formulasi untuk Indonesia’ di Kompleks Istana Negara, Jakarta, akhir Juni lalu.
Menurut Howitt, pola pikirnya harus berubah. Dari ‘pemadam kebakaran’, menjadi selalu siap siaga terhadap bencana. “Data ini menunjukkan, ada kesalahan dalam mengalokasikan belanja,” dia menambahkan.
Dibandingkan Indonesia, Amerika Serikat lebih siap menghadapi bencana. Warga New Orleans, yang diterjang badai Katrina misalnya. Sebelum bencana terjadi mereka telah membangun dinding-dinding pelindung angin ribut.
Atau belajarlah dari Chile. Negeri itu pernah hancur diterjang gempa 9,5 SR pada 1960. Tapi, kata Tim 9, negara ini cukup cerdas membuat peristiwa gempa itu sebagai pelajaran penting. Chile relatif siap.
Buktinya, saat gempa besar berkekuatan 8,8 SR kembali mengguncang Chile pada Februari 2010, dengan 512 kali getaran hebat, mereka bisa menekan jumlah korban. Hanya sedikit rumah yang hancur. Pemulihan jaringan komunikasi juga relatif cepat.
Coba bandingkan dengan Haiti. Negeri itu dihajar gempa 7 SR pada Januari 2010. Ratusan ribu jiwa melayang. Ribuan gedung hancur, dan proses pemulihan jaringan komunikasi berlangsung lama.
Rahasianya keselamatan itu sebetulnya sederhana: kebijakan soal standar bangunan. “Undang-undang di Chile mengharuskan setiap bangunan memiliki konstruksi tahan gempa,” begitu uraian dari Tim 9.
Siapkah kita?
Direktur Kawasan Khusus dan Derah Tertinggal di Bappenas Dr. Suprayoga Hadi mengatakan pemerintah pusat sudah menyusun Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (RNPB) dan juga Rencana Aksi Penanggulangan Bencana (Renas PB).
“Ini sudah terencana dalam jangka 2010-2014,” ujarnya kepada VIVAnews. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan antisipasi 16 kategori bencana, baik bencana alam maupun buatan.
Untuk gempa, Suprayoga menjelaskan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Pusat Vulkanologi sudah menyiapkan rencana antisipasi bagi daerah yang tingkat kerawanannya tinggi. Rencana itu akan dibantu tiap pemerintah daerah terkait.
Sesuai peta terbaru, gempa cenderung bergerak ke wilayah Barat Indonesia. Karenanya, diperlukan aturan ketat soal standar bangunan di wilayah itu.
“Implikasi terbitnya peta rawan gempa baru harus ditindaklanjuti dalam aturan penerbitan IMB di perkotaan. Izin mendirikan bangunan harus lebih ketat. Misalnya harus diterapkan kontsruksi bangunan tahan gempa 5-6 SR,” ujar Suprayoga.
Sumatera Barat dan Bengkulu mengambil langkah lebih maju. Untuk mengantisipasi gempa, daerah itu melakukan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Propinsi, dan juga peraturan daerah.
“Gempa pada 2007 dijadikan pijakan mereka, sehingga kawasan beresiko sangat tinggi dicegah mendirikan pemukiman. Jadi sangat diperhatikan wilayah yang ada patahan, dan pergeseran dengan kerawanan tinggi,” Suprayoga menambahkan.
Lalu, bagaimana dengan Jakarta? Menurut dia, bangunan Jakarta lebih banyak yang vertikal alias gedung jangkung yang menjulang. Selain harus memenuhi persyaratan, bangunan di Jakarta harus punya sistem evakuasi yang bagus.
“Harus ada rute yang jelas untuk evakuasi. Lalu sejauh mana fasilitas yang ada dapat berfungsi seperti tangga darurat, atau alarm lainnya. Agar tidak menimbulkan kepanikan saat terjadi bencana,” ujar Suprayoga.
Dia menyarankan, di Jakarta harus ada renovasi bangunan mengikuti kaedah rawan gempa. Antara lain memperkuat struktur gedung dengan penambahan tulang penyangga.
Sudah siapkah kita?
sumber: VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda