Minggu, 25 Juli 2010

Siaga Skala 9 Richter

VIVAnews – Sirene itu menghadap Samudera Hindia. Menjulang tinggi di Pasar Tiku. Berdiri tegak di antara kantor  Pak Camat dan pasar rakyat. Dikurung pagar lebih dari dua meter. Harga sirene itu juga menjulang. Satu miliar rupiah.
Mahal karena dia adalah dewa pengingat.  Para ahli menyebutnya alat early warning system. Warga di Tanjung Mutiara, Agam, Sumatera Barat itu, menyebutnya dengan nama yang membuat bulu kuduk meriang, Sirene Tsunami.

Sirene itu menderu tiap tanggal 23. Bukan karena gempa. Tapi sekedar mencoba apakah si dewa pengingat ini masih bernafas. Jumat, 23 Juli ini sirene itu melengking. Warga sudah maklum. Ini sekedar uji coba.

Selain tanggal “keramat” itu, sirene ini tak pernah dibunyikan. Bahkan ketika lindu menguncang pesisir barat Sumatera, 30 September 2009, sirene itu diam membisu. Tapi ribuan warga yang cemas tetap berlari mendaki bukit. Mereka ke sana, “ Karena takut ada tsunami,” kata Zulfaidar, seorang warga di sana kepada VIVAnews.

Sebagaimana wilayah lain di barat Sumatera, daerah Tiku itu memang terbilang rawan lindu. Para ahli gempa melansir bahwa daerah pesisir barat itu tersusun oleh batuan sedimen berumur tersier, batuan vulkanik, dan aluvium berumur kuarter. Semua jenis itu memiliki sifat gampang lepas. Itulah yang memperparah efek gempa bumi.

Menetap di atas zona merah itu, warga dan pemerintah selalu bersiaga. Petinggi di Sumatera Barat memasang enam sirene di seluruh wilayah. Di sebar di Padang, Kota Pariaman, Cimpago di Padang Pariaman, Sasak di Pariaman Barat, dan di kota Tiku itu.

Alat sirene semahal itu cuma ada 12 di negeri ini. Kepala Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana Sumatera Barat, Ade Edwar, menyebutkan bahwa enam alat lain ada di Nanggroe Aceh Darussalam.

Lantaran peralatan yang serba terbatas itu, sinyal bahaya di Kepulauan Mentawai cuma datang dari lonceng gereja. Setiap gempa yang lebih dari 5 skala Richter, lonceng gereja selalu berdentang-dentang. Warga pun berlari ke bukit.

Dentaman lonceng gereja itu cukup keras. Terdengar hingga radius satu kilometer.  “Kami tinggal berlari menyelamatkan diri ke bukit,” kata Salaleubaja, seorang warga Mentawai.

Menetap di atas tanah berbahaya, membuat pemerintah Mentawai juga sudah bersiaga.  Sesudah gempa  besar menguncang Aceh 2004 lalu, mereka membangun jalan beton menuju perbukitan. Jalan beton itu juga dibangun antar dusun. Ini adalah jalur evakuasi mendadak.

Siaga begitu rupa, tampaknya memang belum cukup. Sebab bentangan bahaya di barat  Sumatera itu sungguh luas.  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar berencana menerapkan teknologi gelombang radio. Gelombang radio itu terkoneksi ke sirene tsunami.

Handy talky (HT),  yang  sudah dimodifikasi akan terkoneksi ke sejumlah masjid di pesisir pantai Sumatera Barat. Dengan cara itu diharapkan peringatan dini cepat sampai. Harga satu alat  diperkirakan Rp 20 juta hingga Rp50 juta.

Sistem komunikasi darurat  seperti ini pertama di Indonesia. “Akan dibiayai APBN,” kata Ade Edwar. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga akan memasang kamera CCTV di Tuapejat, Ibukota Mentawai.

Bahaya dari Mentawai

Bahaya itu dirilis pemerintah 16 Juli lalu. Kabupaten Mentawai, begitu bunyi rilis itu, menyimpan kekuatan gempa 9 skala Richter. Bahaya itu berdiam di Pulau Siberut dan Sipora, sebelah selatan Kepulauan Mentawai.
Tingkat guncangan maksimal mencapai 0,5 kali gravitasi. ‘’Artinya, satu setengah kali lebih kuat dari gempa sebelumnya (7,9 SR),” ujar Ade Edwar. Bahaya itu diperkirakan menyebabkan gelombang tsunami. Sebab pusat gempa cukup dangkal.
”Menurut sejumlah ahli, jika gempa berkekuatan sembilan skala Richter terjadi, arah timur Mentawai (Padang) akan dihantam tsunami setinggi satu hingga dua meter, ” kata Ade.  Dengan gelombang setinggi itu, dia akan menyasar 637 dusun.
Gelombang yang terbilang raksasa,  justru bergerak  ke arah barat Pulau Mentawai—Samudera Hindia. Tsunami diperkirakan beberapa kali lebih besar dari yang melanda Aceh enam tahun silam. Menggulung hingga radius 2 kilometer. Namun syukurlah, tsunami yang ini mengarah ke samudera lepas.
Ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaya, kepada VIVAnews, Oktober 2009, melansir keberadaan seismic gap di selatan Mentawai ini.
“Dari hasil kalkulasi kami, gempa 2007 hanya melepaskan tidak lebih dari sepertiga jumlah energi tekanan tektonik yang terakumulasi di Mentawai,” kata Danny.
Dengan kata lain, ujar Danny, masih ada sekitar dua pertiga lagi yang tersimpan. Apabila yang dua pertiga ini meluncur sekaligus maka bisa menghasilkan gempa dengan kekuatan sampai 8,8 skala Richter alias 30 kali lebih besar dari gempa 30 September 2009.
Jika semua ramalam itu benar, maka akan terjadi pula kenaikan dan penurunan tanah. Gempa tahun 2007 mengakibatkan tinggi permukaan Pulau Sikakap di Kepulauan Mentawai naik hingga 70 centimeter.
Sedangkan gempa besar yang terjadi akhir Oktober 2009 lalu,  tidak menyebabkan perubahan tanah di kawasan itu. Namun gempa besar terakhir itu membuat tanah di pesisir Pantai Barat Sumbar turun hingga 25 cm.
Prediksi gempa berkekuatan 9 skala Richter ini, menurut Ade yang juga Ketua Ikatan Ahli Geologi Sumbar itu, diperkirakan akan terjadi dalam rentang waktu 10 hingga 20 tahun ke depan.
Celakanya,  guncangan gempa di Sumatera Barat  bukan cuma datang dari dasar laut. Tapi juga dari Patahan Sumatera, yang lebih sering disebut sebagai Patahan Semangka. Patahan itu menyimpan kekuatan gempa dengan daya rusak yang cukup besar.
Di barat Sumatera itu, kata Ade, ada dua segmen yang berada di patahan Sumatera yang masih menyimpan energi berkekuatan 7,5 skala Richter yakni Segmen Sumpu (Pasaman Timur) dan Segmen Suliti (Muara Labuh-Alahan Panjang).
Perkokoh Bangunan
Selain rupa-rupa siaga itu, pemerintah juga mempersiapkan bangunan tahan gempa. Pemerintah Sumatera Barat kini tengah mempersiapkan Peraturan Daerah (Perda) soal bangunan ini. Terutama bangunan publik. Hingga kini Perda itu masih didiskusikan. 

Harmensyah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumatera Barat, menyatakan  bahwa Perda itu masih dikoordinasikan dengan  Dinas Prasarana Jalan dan Pemukiman Sumatera Barat.
“Mitigasi ini membutuhkan investasi. Setiap US$1 yang diinvestasikan akan menyelamatkan aset senilai US$4,” kata Harmensyah. Bencana besar tidak bisa dihadapi dengan sikap responsif semata, butuh investasi untuk mengurangi dampaknya.

Perda soal bangunan ini begitu penting, mengingat gempa September 2009 -- yang berkekuatan 7,9 skala Richter -- meruntuhkan sejumlah gedung yang awalnya disiapkan sebagai lokasi evakuasi bencana tsunami. Hotel Bumiminang dan Sentral Pasar Raya Padang justru tak sanggup menahan guncangan gempa. Padahal sudah disiapkan sebagai escape building.

Pascagempa 2009, Walikota Padang Fauzi Bahar,  berencana membangun 100 sekolah dan pasar sekaligus sebagai shelter yang mudah diakses warga. Semua shelter tersebut berada radius 1 km dari bibir pantai yang tersebar di tujuh kecamatan di Padang.

Tapi memang biayanya cukup mahal. Membangun  100 unit sekolah shelter memerlukan Rp 670 miliar. Tapi uang sebesar itu harus dicari, sebab taruhannya terlalu mahal, keselamatan warga.
Laporan Eri Naldi | Sumatera Barat


Sumber: VIVAnews(Jumat, 23 Juli 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas komentar Anda